" Bajalan lansuang kapandakian, baranti tantang nan data, kalau indak jaleh ujuang panantian, alun dipaciknyo lai tango."
artinya;
Seorang pemimpin yang tidak mengetahui seluk beluk masyarakat dan sifat serta adat istiadat/agamanya, tidak akan berhasil memimpin masyarakat tersebut.
Padang(SUMBAR). SE - Adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah (ABS-SBK) semboyan adat minang yang di pakai para kaum minang. Disini menjelaskan bahwa adat sejalan dengan agama.
"Agama menyempurnakan adat, karena adat yang tidak dibarengi agama maka adat istiadat tersebut bakal punah," kata Uwan Rano di acara tagak gala pesta perkawinan anak lelaki tercinta bapak Dasril di Kelurahan Koto Baru nan XX, Kecamatan Lubuk Begalung, Kota Padang, Sumatera Barat.
Minang yang garis keturunannya berdasarkan garis ibu (Matrilineal). Seorang dewasa jelang masa perkawinan akan diberikan gelar adat.
"Gelar yang menurun dari mamak dan diturunkan ke kamanakan disahkan kapalo mudo " jelas Uwan.
Lebih lanjut, Ketek banamo gadang bagala, pepatah itulah yang sering didengungkan oleh masyarakat minang.Gala atau gelar diberikan melalui sebuah upacara yang dinamakan Malewakan gala (memberikan gelar).
Gala atau gelar akan disematkan kepada laki laki yang sudah dewasa. Gala di minang sendiri bisa bermacam macam, antara lain bisa rajo (raja),datuak atau sutan tergantung suku, daerah, atau asal dari si laki laki. Sebagai contoh suku Piliang akan memberikan gala atau gelar dengan sematan rajo, seperti rajo endah, rajo intan, rajo ameh, dan lain lain.
Malewakan gala bisa dilakukan kapanpun saja. Laki-laki jika ingin meresmikan gala-nya. Diluar konteks Malewakan gala untuk seorang penghulu atau datuak, batagak gala sering dilakukan disaat beberapa hari sebelum resepsi pernikahan bagi si laki-laki yang sering disebut masyarakat minang sebagai Malewakan gala marapulai atau batagak gala marapulai (pengantin laki-laki) . Di momen itu merupakan gala pertama yang didapatkannya.
Malewakan gala dalam upacaranya dipimpin oleh seorang penghulu atau kapalo kampuang (kepala kampung) atau boleh juga orang yang dituakan (dihormati dan disegani) di kampung tersebut, serta dihadiri karib kerabat dan sanak saudara dari si laki-laki. Biasanya syarat minimal untuk sebuah posesi Malewakan gala adalah adanya nasi kunik (nasi kuning) serta seekor ayam utuh yang sudah dimasak atau digulai.
Jalannya Prosesi Malewakan Gala,
Dalam pelaksanaanya nantinya si laki-laki akan berteriak ke di beranda rumah dan menyebutkan gelar yang baru saja disandangnya. Biasanya karib kerabat akan pura-pura tuli dan tidak mendengar apa yang diteriaki oleh si laki-laki. Sampai si laki-laki berteriak mengumumkan gala (gelar) –nya beberapa kali, barulah karib kerabat menyahut dan memanggil gala si laki-laki tersebut.
Dengan Malewakan Gala tersebut maka si laki-laki tadi merasa dan juga telah sah sebagai laki-laki dewasa yang kedudukannya sebagai pemimpin di tengah keluarga, kampung, dan juga adat.
Secara visual, terlihat ada gelar yang diberikan atau dipasangkan kepada kemenakan laki-laki oleh ninik mamak, yang disimbolkan melalui sebuah gelas beirisi air putih. Gelas itu diberikan oleh janang, yang merupakan perpanjangan tangan ninik mamak, kepada kemenakan laki-lakinya yang pada saat itu akan menikah (menjadi marapulai).
Marapulai (Jefri) mengangkat gelas sambil mengenalkan gelar yang bakal disandangnya. (foto: Agan) |
Gelas tersebut dipegang dan diangkat tinggi di depan wajahnya oleh marapulai, bersamaan dengan diumumkannya gelar marapulai oleh janang kepada seluruh hadirin. Kemudian, marapulai itu sendiri mengikuti perintah janang agar mengulangi kata-kata pengumuman gelar yang diejakan oleh janang. Kata-kata janang yang diulangi oleh marapulai adalah seperti yang sudah dikemukakan juga dalam kutipan sebagai berikut :
“Hamba yang bernama Jefri, yang bergelar Rajo Bungsu. Minta dihimbaukan oleh ninik mamak . Dari ujung sampai ke pangkal. Serta dengan orang lima suku”.
Akhirnya, seluruh hadirin, menyetujui dan mengakui pemberian gelar itu dengan cara memanggilkan gelar itu bersama-sama dengan suara yang keras dari setiap penjuru rumah Marapulai menyatakan kesediaannya dipanggil dengan gelar “Rajo Bungsu”, dengan cara menjawab panggilan seluruh hadirin tersebut.
Hal itu tampak dalam kutipan berikut ini:
Pemuda 1 :Rajo Bungsu!
Marapulai :Ya , hamba.
Yang Hadir :Rajo Bungsu !
Marapulai :Ya, hamba.
Pemuda 2 :Rajo Bungsu !
Marapulai :Ya, hamba.
Hadirin merangkap saksi yang menghadiri prosesi malewakan gala. (foto: Agan) |
Pada saat memanggil gelar yang telah disandang, para saksi atau yang menghadiri memanggil dengan cara yang berbeda bahkan mereka menirukan gaya seorang gagap dan lebih lucunya dengan gaya bicara seseorang menderita cacat bibir sumbing. Sang Marapulai tetap menjawab: Ya, Hamba !
Secara auditif, juga dinyatakan dalam Prosesi Malewakan Gala bahwa si kemenakan ketika kecil telah punya nama, tetapi kini ia akan diberi gelar karena ia akan menjadi orang dewasa, yaitu memasuki dunia pernikahan. Gelar itu sendiri adalah warisan yang ia terima dari mamak-nya.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa melalui representasi bentuk “dunia mini” Minangkabau yang dituturkan kembali secara visual dan auditif melalui ritual prosesi Malewakan gala, orang seakan “dipaksa” menerima dan setuju bahwa ritual pemberian gelar itu lugu seadanya, alamiah, tanpa beban ideologis.
Acara berakhir dengan balas pantun jelang bubar dan di tutup dengan baca Al Fatihah serta diakhiri salam.
#deni/ agan
No comments:
Post a Comment