Oleh : Ulil Amri Abdi
Politik praktis bagi PNS bukan lagi barang baru. Ia sudah menjadi makanan sehari-hari. Seperti, sebuah tradisi yang harus dilakukan, apalagi di momen Pilkada saat ini.
PNS yang ingin karirnya cemerlang dalam dunia birokrasi harus "bapandai-pandai" mengadu peruntungan dalam dunia politik praktis. Terutama, PNS yang hanya memiliki kemampuan "dibawah rata-rata" dan PNS yang "gila jabatan". Malahan, politik praktis dijadikan "aqidah" dan "kiblat" menuju puncak karir sebagai seorang birokrat.
Hasilnya, politik praktis memproduksi pejabat-pejabat "prematur" dan "amatiran". Jabatan tidak lagi dipandang sebagai amanah dengan segala macam syarat dan rukun yang musti dimiliki. Namun, telah menjelma sebagai "core bisnis". Layaknya, amarah yang menggelora dalam menaklukkan rekan sejawat.
Walaupun tidak semuanya, keterlibatan PNS dalam politik praktis dipicu "political will" dari para pelaku politik itu sendiri. PNS yang notabenenya berprilaku netral dalam percaturan politik (karena telah didaulat sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat) diberikan peluang dan hembusan "angin sorga" untuk mendapatkan dan mempertahankan jabatan. Asalkan, mau berpihak dan memberikan dukungan kepada kepentingan politik.
Dan, bagaimana dengan PNS yang (masih) memiliki integritas?
Persoalan sebenarnya ada disini. Dan persoalan tersebut memiliki efek domino yang cukup besar bagi pengelolaan birokrasi pemerintah. Yang akhirnya, berdampak pada pelayanan kepada masyarakat, dari "semangat 45" menjadi "ala kadarnya" saja.
PNS yang tidak mau terlibat dalam politik praktis juga menjadi "momok" bagi kepentingan politik. Dengan demikian, politik praktis sengaja mendikotomi PNS untuk kepentingan politik. Ada yang mengistilahkan dengan sebutan "urang awak", kelompok "si ini", pendukung "si itu".
Untuk itu, jangan pernah berharap jenjang karir akan berjalan mulus walaupun tidak terlibat dalam dukung-mendukung, dan tidak memihak kepada salah satu kepentingan politik. Sebab, dengan komitmen tersebut, PNS akan tetap "dilabeli" dengan identitas politik praktis.
Akhirnya, dengan tidak adanya kejelasan jenjang karir yang "fair" dan terjadinya intimidasi oleh pelaku politik, integritas PNS sebagai abdi negara semakin menjadi runyam, dan pekerjaan yang dilakukan hanya sekedar "palapeh tanyo" saja. Tak ada lagi inovasi, kreativitas, apalagi loyalitas terhadap pekerjaan. Begitulah, teror politik praktis bekerja.
Dan lebih parahnya lagi, sistem organisasi (birokrasi) menjadi amburadul, budaya organisasi tidak lagi sehat, dan komunikasi organisasi pun tidak lagi terjalin dengan baik. Hasilnya, pembangunan menjadi lambat, pelayanan tidak maksimal. Karena PNS telah dijadikan dan menjadikan dirinya (profesi) sebagai komoditas kepentingan politik praktis.
Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sudah menjelaskan, bahwa pengelolaan manajemen PNS diperlukan untuk menghasilkan PNS yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dan, untuk diangkat menjadi seorang pejabat yang merupakan jenjang karir bagi PNS, diperlukan penilaian PNS yang berdasarkan pertimbangan objektif antara kompetensi, kualifikasi, syarat Jabatan, penilaian atas prestasi kerja, kepemimpinan, kerjasama, kreativitas, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan.
Jadi, aturannya pun sudah jelas. Seluruh PNS memiliki kesempatan jenjang karir yang sama, yang tentunya berdasarkan "merit system" dan sama sekali bukan menggunakan "marriage system".
Setelah perhelatan Pilkada ini, apakah "political will" pelaku politik pemenang Pilkada akan berdasarkan aturan main yang telah ditetapkan?
"Antahlah yuang! Wallahu a’lam bish-shawabi!"
Penulis adalah PNS Pemko Padang (Agen Perubahan Reformasi Birokrasi)
Editor : Miko Elfisha
#SE
No comments:
Post a Comment