Oleh: Ir. H. Emzalmi, M.Si
Komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) belakangan ini semakin meluas dan berani menunjukkan eksistensinya. Bahkan baru-baru ini dunia dihebohkan dengan tayangan video yang menjadi viral di media sosial di mana mempertontonkan upacara pernikahan kaum gay yang berlangsung di Arab Saudi. Kendati aparat Arab Saudi bertindak cepat menyelidiki dan meringkus sejumlah orang yang tampak dalam video itu, namun peristiwa tersebut telah menunjukkan agar kita tidak boleh lengah atau menganggap remeh perkembangan LGBT.
Indonesia sebagai negara berkembang juga tidak terlepas dari mewabahnya LGBT. Kaum sodom ini memanfaatkan kemajuan informasi dan teknologi guna menyebarkan paham seks menyimpang, mengkonsolidasikan komunitasnya, hingga usaha-usaha perekrutan anak-anak muda yang akan dipersiapkan agar suatu hari nanti dapat duduk di kursi pemerintahan untuk membela hak-hak kaum LGBT.
Gencarnya upaya-upaya promosi LGBT melalui internet tersebut dikemukakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang telah menemukan 169 situs LGBT pada 2017 hasil dari penelusuran dan pengaduan masyarakat. Kemenkominfo juga telah mengirim permintaan kepada Google untuk melakukan penghentian 75 aplikasi yang berkenaan dengan LGBT di Google Play Store. Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo Noor Izza juga mengatakan telah mengajukan kepada Facebook untuk melakukan suspend terhadap satu grup Facebook LGBT yang meresahkan masyarakat. (Padang Ekspres, 18 Januari 2018).
LGBT merupakan masalah serius yang tidak saja bertentangan dengan akidah agama namun juga melawan hukum alam, nilai-nilai sosial, dan adat budaya Indonesia. LGBT adalah penyimpangan, penyakit, atau kelainan orientasi seksual yang muncul bukan karena faktor genetika atau tidak dibawa semenjak lahir. LGBT tumbuh karena faktor psikologis dan lingkungan sosial. Trauma masa kecil akibat kekerasan rumah tangga, pelecehan seksual, atau akibat salah pergaulan dapat menjadi beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku LGBT. LGBT menurut sejumlah ahli kesehatan dapat diobati dan disembuhkan. Oleh sebab itu, membiarkan perilaku LGBT berkembangbiak di tengah masyarakat sama saja dengan membiarkan masyarakat sakit.
Salah satu penyakit mematikan akibat tabiat menjalin asmara sesama jenis ini adalah HIV/AIDS. Sebagaimana diketahui, Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang dapat ditularkan melalui tranfusi darah, jarum suntik, dan hubungan seksual. Para pelaku narkoba yang menggunakan jarum suntik secara bersama dan para homoseksual merupakan kelompok paling rentan terkena HIV/AIDS.
Menangani persoalan perilaku menyimpang LGBT ini diakui bukan persoalan mudah karena kaum LGBT sebagian besar tidak menyadari bahwa perilaku ganjil mereka tergolong suatu penyakit yang perlu segera diobati. Berbeda dengan seseorang yang sakit demam misalnya, ia akan cepat-cepat pergi ke dokter untuk memeriksakan diri dan mendapatkan obat. Sementara, kaum LGBT cenderung menganggap dirinya normal dan telah ditakdirkan menjadi LGBT layaknya orang lain yang ditakdirkan berkulit hitam, putih, kuning atau coklat. Mereka berpikir bahwa LGBT merupakan bawaan genetik, sama seperti orang yang terlahir berhidung mancung, mata sipit, atau berambut ikal. Kaum LGBT hanya berobat bila sudah terkena penyakit kelamin, kanker anus, kanker mulut atau virus HIV.
Parahnya, komunitas LGBT saat ini justru ingin mendapatkan perlakuan dan persamaan hak. Mereka berupaya agar pemerintah dan masyarakat dapat menerima keberadaan kaum LGBT dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, kaum LGBT dapat melangsungkan pernikahan, hidup berumahtangga, memiliki keturunan (dengan mengadopsi anak atau melalui--istilah mereka--sewa rahim), hak untuk bekerja dalam profesi apapun, serta hak-hak lainnya.
Perilaku LGBT harus segera diobati bukan malah diberi tempat. Yang dikhawatirkan adalah bila LGBT sudah memperoleh tempat, maka kaum penyimpang orientasi seksual lainnya seperti kaum pedophilia (penyuka seks dengan anak-anak), zoophilia (penyuka seks dengan hewan) dan kaum incest (penyuka seks dengan saudara kandung) juga akan menuntut hak kesetaraan layaknya kaum LGBT.
Melalui surah Allah SWT berfirman, “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian? Sesungguhnya kalian telah melampiaskan syahwat kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kalian benar-benar kaum yang melampaui batas.” (Al-A’raf: 80-81). Fahisyah adalah perbuatan yang sangat hina dan rendah (menjijikan) yang kemudian diganjar hukuman yang mengerikan oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam Al-Hijr: 73-75, “Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. Maka Kami jungkirbalikan (negeri itu) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berfikir.
Nabi Muhammad SAW pun pernah bersabda, “Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)” (HR. Nasa’i)
Peringatan keras dari Allah SWT dan Rasul-Nya tersebut semestinya menjadi perhatian serius bagi pelaku LGBT untuk kembali sadar dan berjalan pada fitrah yang lurus sesuai ajaran Islam. Pihak keluarga sebagai orang terdekat hendaknya dapat melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap anggota keluarganya yang lain, bila menemukan kejanggalan, dapat mengkomunikasikannya dengan baik, penuh kepedulian, dan rasa kasih sayang layaknya menangangani anggota keluarga kita yang sedang mengalami sakit.
Penyimpangan perilaku LGBT ini dapat diobati dengan kesadaran penderitanya yang didukung oleh lingkungan sekitar yang kondusif. Faktor lingkungan sosial adalah hal mutlak yang memengaruhi lambat tidaknya kesembuhan si penderita. Akan percuma saja bila si penderita LGBT berkeinginan sembuh tetapi tetap saja bergaul dengan komunitas LGBT.
Pada akhirnya, pemerintah dan masyarakat harus memberikan tempat bagi kaum LGBT untuk berobat dan bertobat. Secara persuasif dapat dilakukan komunikasi dengan komunitas LGBT untuk kembali ke jalan yang benar. Pendekatan agama maupun adat budaya dapat dijadikan modal dalam membangkitkan kesadaran bagi kaum LGBT agar bersedia melakukan terapi ke psikolog.
Sedangkan sebagai langkah preventif, tiap-tiap keluarga hendaknya selalu membangun keharmonisan dalam berumahtangga. Orangtua agar menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya semenjak dini, melakukan pengawasan terhadap lingkungan pergaulan, dan membiasakan melakukan dialog dalam memecahkan suatu masalah dalam keluarga. Kekerasan dalam rumahtangga hanya akan memberikan trauma psikologis yang membekas dalam jiwa sang anak sehingga rentan dengan pengaruh-pengaruh yang menyimpang.
Pada akhirnya, menyadarkan dan mengobati LGBT menjadi tugas kita bersama, yakni dengan menjalankan peran kita masing-masing, apakah selaku pemerintah, ulama, ninik mamak, kaum terpelajar maupun sebagai anggota keluarga. Karena tentunya, (sama-sama kita berdoa) kita tidak menginginkan laknat Allah SWT seperti yang telah dialami oleh umat Nabi Luth ditimpakan kepada kita karena membiarkan kaum LGBT melampaui batas.
No comments:
Post a Comment